Puisi

Untuk Mantan


Jelas. Jelas sekali matamu lembab.
Perih. Perih sekali kedua mata ini membacanya.
Ini musim kemarau, tidak mungkin tetes-tetes air singgah di pipimu begitu saja.

Katamu: “Kita pernah menulis cerita, mungkin ini adalah akhir yang terpilih untuk musim-musim cerita kita. Bukankah ini pilihan mandiri untuk kita?”
Memeluk tangis dan memecah tawa sendiri?

Bukan. Ini bukan april mop.
Kelakar di bulan april itu terlalu klise untuk mengocok perut kita.
Ialah hidup–hidupku dan hidupmu yang seharusnya membuat kita tertawa. Seharusnya!

Barangkali ini musim yang tidak kita inginkan–musim yang berisik oleh suara-suara patahan ranting selepas daun gugur.
Kita harus mengakuinya sakitnya dengan jujur.
Semoga tak ada yang hancur pada  lidah-lidah pahit mengecap rasa sakit itu.
Pula nyeri menjadi denyut lembut di ketangguhan kaki ketika melepasmu pergi.

NB: Puisi di atas teruntuk, Kanaya Wimelnidya Ayulin. Selamat jalan. Tuhan mencintaimu.

Surabaya, 2014.

Tinggalkan komentar